DI PAMEKASAN




















Kami adalah tubuh yang tercipta dari sebuah pagi
Kami tempuh hari dengan suara-suara lenguhan
Dan mata para tuan yang berteriak kemenangan
Untuk sebuah kedudukan yang meninggi
Untuk apa yang dinamakan perigi

Di Pamekasan, kami menjelma sebuah keberangkatan
Menuju rindu yang tak pernah kami punya
Maka uraikanlah simpul yang membelit genggaman
Sebab sebuah rindu tak pernah berdaya

Ada perih yang terus membayang
Ada sakit yang tak kunjung membaik
Tapi kami tak boleh menyerah begitu saja
Disini kaki kami berpijak menahan semua perih dan sakit
Menuju rindu yang tak pernah tergapai

Segala peluh dan lenguh yang tumbuh
Tak pernah kuasa kami untuk mengaduh
Dari duri dedap kami geragap
Mata kami dikunci untuk satu tujuan pasti
Kulit kami digosok hingga kemilap
Agar kalian tidak tahu derita kami akan cemeti

Di kota ini, tubuh kami terjaga
Menghitung derap-derap kaki menghentak
Berlari menuju titian tangga
Menuju mereka yang bersorak serentak

Kami tak pernah paham perihal kerumunan di kerapan
Kami tak ambil pusing tentang bisikan halimunan
Kami tidak tahu, tidak mencari tahu, pun diberi tahu
Sebab kepulangan kami
Adalah penantian akan harga diri


25 September 2012

jarum jam ke kanan


Jarum jam bergerak ke kanan. Menandakan waktu bergerak ke depan, menuju ke masa depan. Menuju pencapaian-pencapaian yang didambakan. Katanya, itu yang dinamakan kehidupan. Karena manusia menuju kematian. Dan seringnya itu yang dikhawatirkan.
Perubahan adalah hal mutlak yang dihadapi manusia. Lahir, tumbuh besar, mengenal sekolah dan kuliah, bekerja dan menikah, mempunyai anak dan membesarkannya, kemudian tua dan mati. Anaknya pun akan meneruskan hal yang sama. Monoton? Tampaknya iya. Namun perubahan yang dihadapi dalam menjalani proses tersebut menciptakan hal-hal yang tentu tidak monoton. Proses itu hanyalah skema kehidupan. Yang lebih penting adalah hal apa saja yang mengisi skema tersebut, yang nantinya disebut sebagai pengalaman.
Pengalaman memberikan sesuatu yang tidak monoton dalam kehidupan.
Saya mencoba memahami sebuah skema tersebut dan melihat ke dalam diri saya. Pengalaman yang saya dapat, saya capai, saya usahakan dalam hidup saya, apakah sudah memberikan saya kehidupan? Kehidupan yang bagaimana? Yang dibentuk orang lainkah? Atau memang seperti yang saya inginkan? Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan seseorang sedikit banyak dipengaruhi hal-hal disekitarnya. Namun, diri sendiri yang menentukan, mengambil keputusan. Pengalaman, bagi saya, adalah segala hal yang saya peroleh dan ciptakan, dan membentuk saya.
Jarum jam bergerak ke kanan menuju masa depan. Akan ada banyak kejutan yang menanti. Akan ada banyak kekecewaan menanti. Akan ada banyak kebahagiaan yang menanti.

pesan moralnya apa?


“Jadi, pesan moral dari ceritanya apa?”
Tak jarang saya mendapatkan pertanyaan seperti itu jika saya diminta memberikan referensi sebuah buku pada seorang teman atau pada siapa saja. Saya tidak segera menjawab. Malahan saya berpikir, apakah selalu sebuah buku memberikan kita sebuah pesan di dalamnya atau mungkin buku itu hanya bermaksud untuk dibaca saja. Kemudian muncul pertanyaan lain: Apa gunanya membaca jika tidak ada manfaat (atau pesan moral) yang diperoleh darinya?
Saya tidak ambil pusing mengenai hal tersebut. Saya lebih memilih menjawab: Baca saja dan jangan lupa untuk menikmatinya.
Membaca memiliki banyak arti bagi masing-masing orang yang menikmatinya. Ada yang sekedar ingin membunuh kebosanan, ada yang menjadikannya kegemaran, dan ada pula yang sedang menjadikannya sebuah referensi penelitian atau apapun. Saya lebih memilih untuk menikmati buku sebagai sebuah karya yang memang untuk dinikmati. Apapun itu. Misal, saat ini saya membaca beberapa buku dan bahan bacaan lain yang saya niatkan sebagai referensi untuk pengerjaan skripsi saya. Saya memiliki niat yang tersembunyi untuk menikmati bacaan-bacaan tersebut. Seolah saya sendiri yang menulisnya dan membaca ulang tulisan saya.
Disadari atau tidak, terkadang saya pun termasuk pemilih dalam urusan bacaan. Namun saya lebih memilih membaca buku sesuai dengan apa yang saya inginkan pada saat saya ingin membaca. Bisa jadi saya justru membaca sebuah jurnal tentang kebijakan politik suatu negara pada saat saya sebenarnya memerlukan referensi mengenai Marxisme untuk skripsi saya. Suatu pengalihankah? Saya rasa perilaku saya sebagai sebuah insting untuk menarik minat saya untuk membaca, setelah itu saya arahkan untuk membaca bahan bacaan yang memang saya perlukan. Seringkali saya memang membutuhkan sebuah pancingan untuk “memaksa” diri saya melakukan hal-hal yang merupakan kewajiban saya.
“Jadi, pesan moral dari ceritanya apa?”
Sudahlah, untuk apa dianggap terlalu serius. Nikmati saja.

HERAN SAYA

heran saya,
sepertinya komentar seperti itu adalah komentar paling sering yang muncul dari mulut saya.
padahal orang tua jaman dulu selalu memberi nasihat "dadi wong kuwi ojo gumunan". entah maksudnya apa tapi yang jelas, pasti maksudnya baik. nasihat orangtua kan walaupun kadang absurd tetapi maksudnya baik, iya gak?

contohnya, akhir-akhir ini, saya heran kenapa saya jadi seperti sekarang ini:
-mulai ngerokok lagi
-jarang mandi
-jarang ganti kaos
-tampilan kucel dan gak keurus
-lebih cuek

padahal dulu waktu semester-semester awal, saya selalu make baju ke kampus, wangi, rambut juga rapi.

heran saya,
sama diri saya sendiri.

hmm, kemudian hal ini membuat saya berpikir (setelah beberapa kali mendapat komentar/teguran/pujian/apapun dari teman-teman dekat dan pacar) hal yang seperti ini kah yang membuat saya nyaman? untuk saat ini sepertinya jawabannya adalah iya. namun tentunya saya punya identitas dan identitas itu saya yang akan membentuknya.

heran saya,
saya orang-orang.

saya lebih senang menjadi diri sendiri tanpa mengikuti apa maunya orang lain yang menurut mereka bagus, keren, atau apapun.
dulu, saya pernah mengalaminya. saya minder jika tidak memakai kaos yang sekiranya diterima dan dilihat keren oleh teman sebaya, saya minder jika obrolan saya tidak sekepala dengan teman-teman saya. sering saya mengalami hal itu dan itu menbuat saya bingung, misal hanya untuk memakai baju apa untuk keluar hang out dengan teman-teman saya.

heran saya,
sama tuhan.

pasti tuhan benar-benar rumit ya? tapi bukan berarti tidak bisa dipahami kan?

salam.

PAGI YANG BUTA

malam yang kau tempuh dengan hela nafas.
sebenarnya telah aku bunuh. lumpuh, habis gelapnya oleh subuh.
dia muncul beragan sebagai kenangan, hadir sepanjang jalan.
lalu pagi akan terseret. menyambutmu bak pendet.
dan kau lupa bahwa aku ada. kau sembunyikan macam delikan.
pagi yang buta. namamu adalah pesta pengakhiran akan sebuah dusta.

MENGUPAS BAWANG

katamu mengupas bawang itu bagian tersulit dalam
memasak. yang penuh dengan kejutan akan sebuah penglihatan
akan pesona seorang manusia. karena semakin tipis yang terkupas
menguak aroma ketajaman manusia

aku meletakkan sebutir telur di dahimu, yang
bahkan kau tak tahu itu disana. menghisap isi kepalamu
menjadi kuning telur yang semakin pekat. sepekat darah
mu yang penuh dengan dosadosa akan langit sore yang
melata diantara ratusan periperi kecil yang membisu

makan malam sudah hampir siap untuk dihidangkan
ke hadapan para tamu kelaparan. yang lapar akan sebuah
pembicaraan yang semu. tentang cinta kita yang terlalu
tanak dipanaskan, "sudah tidak enak," katamu
menjadi bubur yang lembek dan hambar

tetapi para tamu sudah berdatangan, bersiap
menikmati hidangan yang sudah tersaji
"biarlah" aku berkata, "apa adanya saja"
untuk apa ditutup-tutupi: bau bawang yang menguar

mei, 2012

JALAN PULANG















Di dadamu
Aku berpulang
Ada sungai yang tak tahu
Ke mana menuju
Pula, tak tahu 
Di mana muara
Di dadamu
Aku menunggu
Memiilin sisa angin yang tak lagi berhembus


Di setiap akhir waktu
Selalu ada kamu yang menggigil kepayahan
Menghadang runcing tetes hujan yang menerpa
Selalu ada aku yang menata
Langit memucat
Kedinginan
Maka, setiap awal aktu
Aku mencoba menyulap
Tiap-tiap kepahitan
Merupa jenis senyum yang terasingkan


Di dadamu, 
Selalu ada aku
Yang mengingat
Ke mana arah jalan pulang


Februari 2012
 
Copyright 2011 Dhani Irawan